Aku merenung, Mengingat kembali masa-masa
kecilku. Masa dimana aku dirawat dan dibesarkan tanpa tangan kedua orang tuaku
sendiri. Sejak kecil, aku udah tinggal bersama eyang kakung dan eyang utiku.
Karna akulah cucu yang dapat menemani kesepian bagi mereka, dikala anak-anak
dari budheku udah dewasa semua. Sehingga kakek dan nenekku memintaku dari kedua
orang tuaku. Walau aku tak dibesarkan langsung oleh kedua orang tuaku, aku
sangat bersyukur. Eyang kakung dan eyang utiku tak menganak emaskan aku. aku di
didik selayaknya anak-anak seperti yang lainnya. Sering kali aku diomelin oleh Eyang
utiku karna aku suka melakukan hal-hal yang seharusnya gak kulakukan. Tingkahku
yang nakal dan suka main lupa waktu hingga mandiku menjadi telat dari waktu
yang telah ditetapkan eyang utiku. Pada saat itu, rasanya aku g betah karna
didikan eyang utiku yang menurutku kayak orang belanda. Yah, utiku emang
disiplin, dan mungkin terlewat disiplin. Banyak sekali aturan-aturan yang harus
ditaati. Apalagi, aku seorang cewek. Utiku pernah mengatakan bahwa
“wanita itu seperti
gelas kaca yang benar-benar harus dijaga, dan jangan ada retak ataupun ada goresan
setitikpun. Jika wanita melakukan 1 kali kesalahan walau kesalahan itu tak
berat, orang-orang udah memandang cacat atau bahkan mencibir. Berbeda dengan
laki-laki, jika mereka berbuat 1000 kali kesalahan yang berat sekalipun,
orang-orang hanya tertawa saja dan tak pernah memandang cacat sedikitpun laki-laki
itu”.
Dari ucapan tersebut, aku hanya mengiyakan. Karna usiaku yang masih 13 th,
sama sekali tak memahami kata-kata utiku. Selalu aku merenung akan kata-kata
eyang utiku.
Sesekali kedua orang tuaku menengokku. Karna
pekerjaan orang tuaku yang tak memungkinkan tuk menengokku setiap saat, mereka
hanya dua kali dalam seminggu menengokku. Apa lagi sejak adikku lahir, orang
tuaku hanya sekali dalam seminggu menengokku. Selain itu, tempat kerja orang
tuaku jauh dari ruman eyang utiku dan untuk perjalanannya saja butuh waktu 5
jam. Saat ibuku datang, aku bahagia banget. Dan aku selalu mengadu akan apa
yang aku alami, sering diomelin utiku, main nggak boleh lama, bahkan dalam
makan dan hal sekecil apapun pasti ada aturannya. Selain itu, tugas-tugas yang
harus dikerjakan cewek sanyat banyak. Tapi, ibuku hanya menertawakan aduanku
saja. iiigh, aku sebel dan bertanya-tanya. Setiap aku mengadu, ibuku selalu menjawab
dengan senyuman: “suatu saat kalo mbak udah dewasa, pasti tau sendiri J”. Huuft, yang maunya aku mendapatkan solusi,
justru bingung yang ku dapatkan. Aku tak heran karena ibuku dulu juga mengalami
hal yang sama dengan aku.
Berjalannya waktu dan usiaku dimana aku harus
melalui hari-hari dengan aturan-aturan yang menurutku itu kuno, membuatku hanya
diam dan melakukan saja aturan-aturan eyang utiku. Hingga pada saat aku berumur
15 tahun, eyang utiku terserang stroke. Dan saat itu, aku merasa ada yang
kurang dalam hidupku. Aku merasakan kesepian akan titah dan omelan utiku.
Selama utiku stroke, aku yang merawatnya, dibantu dengan tanteku yang kala itu
sudah menduduki bangku kuliah. Setiap kali aku menyentuh badan eyang utiku, aku
selalu ingin menangis. Dulu setiap eyang utiku menasehatiku, sekalipun aku tak
boleh menatap matanya langsung. Jika aku menatap matanya langsung, yang ada
beliau justru tambah marah. Sebab tak sopasn sekali bila menatap mata orang
yang lebih tua jika memberi nasehat. Tapi sejak utiku stroke, beliau tak pernah
marah bila aku menatap langsung mata beliau. Yang ada, aku ingin menangis bila
menatap dan berbicara pada beliau. Setiap aku berbicara, beliau hanya diam dan
menatapku dengan penuh arti seolah ingin membalas pembicaraanku, namun nggak
bisa.
3 tahun telah berlalu, dan aku menduduki
bangku kelas 3 SMA. Pagi itu tepat saat hari minggu, seperti biasa setelah eyang utiku dimandikan, aku
menyuapi eyang utiku. Namun saat itu, eyang utiku tak sekalipun mau mengunyah buburnya.
Aku tak menyadari bahwa suapan ketigaku, eyang utiku udah nggak ada (meninggal). Aku
menepuk pipi eyang utiku, dan sekalipun eyang utiku tak mau mengunyah. Biasanya,
setiap aku menyuruh agar eyangku mau menelan buburnya, selalu eyangku
mengedipkan mata dan mengangguk. Namun, saat itu tepukan tanganku di pipi
eyangku, tak membuat mata eyangku berkedip. Aku bingung, ada apa?!! Akhirnya
aku mengambil lagi makanan yang ada di dalam mulut eyang utiku. Aku
mengoyak-ngoyak badan eyang utiku. Tapi tatapan eyang utiku udah kosong dan
hanya pada 1 arah. Saat itu, aku bener-bener bingung. Aku memanggil-manggil
tante dan eyang kakungku. Aku menempelkan pipiku di atas perut eyang utiku,
namun tak ada tanda perut eyangku kembang kempis. Telunjukku aku tempelkan di
hidung eyang utiku, namun tak ada angin yang berhembus dekalipun dari dalam
hidungnya. Saat itu, dadaku benar-benar sesak, ingin menangis tapi air mata nggak bisa keluar. Tanteku panik dan memanggil dokter
yang memang menangani eyang utiku dari awal.
Semua anggota keluargaku sudah berkumpul di dekat eyang utiku.
Aku masih memeluk eyang utiku. Aku marah saat itu aku marah. Karna dokter
mengatakan eyangku udah meninggal. Aku tak percaya, aku menangis sejadi-jadinya
di pelukan eyang utiku. aku menghela tarikan ibuku yang menyuruhku untuk
bangkit dari badan eyang utiku. Saat itu, aku benar-benar merasa kehilangan. Ingin
rasanya aku teriak, aku ingin eyang utiku kembali. Tapi, itu nggak akan
mungkin. Walaupu hari udah lewat 40 hari sejak sepeninggalnya eyang utiku, aku
tetap aja ngrasa sakit di hati. Aku kesepian walau banyak sanak keluarga di
sekelilingku saat itu. Setiap kali aku memandang tempat tidur eyang utiku, aku
merasa eyang utiku masih saja berbaring disitu. Selalu saja aku g tahan kalo
inget akan semuanya. Air mata selalu aja g bisa aku tahan. Ibuku merasa
khawatir jika aku tetap dirumah eyangku, ditakutkan aku nggak bisa fokus ke
pelajaran. Mengingat aku udah kelas 3 SMA dan harus giat belajar untuk UNAS
nantinya. Dan akupun disuruh untuk tinggal di rumah orang tuaku saja yang sudah
dibeli sejak aku kelas 5 SD, Namun saat orang tuaku baru membeli dan menyuruhu untuk pindah ke rumah itu, aku justru lebih memilih untuk tinggal bersama eyang
kakung dan utiku. Karna percuma, rumah itu hanya dihuni oleh emak-orang yang udah ikut orang tuaku semenjak ayahku masih bujangan.
Saat ini, usiaku telah beranjak dewasa dan
mungkin udah bukan remaja lagi. Dengan umur kepala 2, aku sadar betapa
berharganya nasehat-nasehat eyang utiku.
walaupun do’a yang ku kirim untuk beliau di
setiap panjatan do’aKu, Rasanya tak dapat menebus semua kesalahan-kesalahan
yang ku perbuat dulu, yang mana aku bandel dan suka bukin eyang utiku marah.
Sekarang, Aku hanya bisa melakukan semua
perintah dan nasehat-nasehat yang pernah beliau berikan padaku dengan baik. Dengan
itulah, aku akan merasa eyang utiku selalu bersamaku dan dekat denganku. Walau kadang
aku merasa ingin menangis setiap saat mengingat eyang utiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar