Halaman

Rabu, 15 Mei 2013

Nenekku "guruku"


Aku merenung, Mengingat kembali masa-masa kecilku. Masa dimana aku dirawat dan dibesarkan tanpa tangan kedua orang tuaku sendiri. Sejak kecil, aku udah tinggal bersama eyang kakung dan eyang utiku. Karna akulah cucu yang dapat menemani kesepian bagi mereka, dikala anak-anak dari budheku udah dewasa semua. Sehingga kakek dan nenekku memintaku dari kedua orang tuaku. Walau aku tak dibesarkan langsung oleh kedua orang tuaku, aku sangat bersyukur. Eyang kakung dan eyang utiku tak menganak emaskan aku. aku di didik selayaknya anak-anak seperti yang lainnya. Sering kali aku diomelin oleh Eyang utiku karna aku suka melakukan hal-hal yang seharusnya gak kulakukan. Tingkahku yang nakal dan suka main lupa waktu hingga mandiku menjadi telat dari waktu yang telah ditetapkan eyang utiku. Pada saat itu, rasanya aku g betah karna didikan eyang utiku yang menurutku kayak orang belanda. Yah, utiku emang disiplin, dan mungkin terlewat disiplin. Banyak sekali aturan-aturan yang harus ditaati. Apalagi, aku seorang cewek. Utiku pernah mengatakan bahwa 

“wanita itu seperti gelas kaca yang benar-benar harus dijaga, dan jangan ada retak ataupun ada goresan setitikpun. Jika wanita melakukan 1 kali kesalahan walau kesalahan itu tak berat, orang-orang udah memandang cacat atau bahkan mencibir. Berbeda dengan laki-laki, jika mereka berbuat 1000 kali kesalahan yang berat sekalipun, orang-orang hanya tertawa saja dan tak pernah memandang cacat sedikitpun laki-laki itu”. 

Dari ucapan tersebut, aku hanya mengiyakan. Karna usiaku yang masih 13 th, sama sekali tak memahami kata-kata utiku. Selalu aku merenung akan kata-kata eyang utiku.
Sesekali kedua orang tuaku menengokku. Karna pekerjaan orang tuaku yang tak memungkinkan tuk menengokku setiap saat, mereka hanya dua kali dalam seminggu menengokku. Apa lagi sejak adikku lahir, orang tuaku hanya sekali dalam seminggu menengokku. Selain itu, tempat kerja orang tuaku jauh dari ruman eyang utiku dan untuk perjalanannya saja butuh waktu 5 jam. Saat ibuku datang, aku bahagia banget. Dan aku selalu mengadu akan apa yang aku alami, sering diomelin utiku, main nggak boleh lama, bahkan dalam makan dan hal sekecil apapun pasti ada aturannya. Selain itu, tugas-tugas yang harus dikerjakan cewek sanyat banyak. Tapi, ibuku hanya menertawakan aduanku saja. iiigh, aku sebel dan bertanya-tanya. Setiap aku mengadu, ibuku selalu menjawab dengan senyuman: “suatu saat kalo mbak udah dewasa, pasti tau sendiri J”. Huuft, yang maunya aku mendapatkan solusi, justru bingung yang ku dapatkan. Aku tak heran karena ibuku dulu juga mengalami hal yang sama dengan aku.
Berjalannya waktu dan usiaku dimana aku harus melalui hari-hari dengan aturan-aturan yang menurutku itu kuno, membuatku hanya diam dan melakukan saja aturan-aturan eyang utiku. Hingga pada saat aku berumur 15 tahun, eyang utiku terserang stroke. Dan saat itu, aku merasa ada yang kurang dalam hidupku. Aku merasakan kesepian akan titah dan omelan utiku. Selama utiku stroke, aku yang merawatnya, dibantu dengan tanteku yang kala itu sudah menduduki bangku kuliah. Setiap kali aku menyentuh badan eyang utiku, aku selalu ingin menangis. Dulu setiap eyang utiku menasehatiku, sekalipun aku tak boleh menatap matanya langsung. Jika aku menatap matanya langsung, yang ada beliau justru tambah marah. Sebab tak sopasn sekali bila menatap mata orang yang lebih tua jika memberi nasehat. Tapi sejak utiku stroke, beliau tak pernah marah bila aku menatap langsung mata beliau. Yang ada, aku ingin menangis bila menatap dan berbicara pada beliau. Setiap aku berbicara, beliau hanya diam dan menatapku dengan penuh arti seolah ingin membalas pembicaraanku, namun nggak bisa.
3 tahun telah berlalu, dan aku menduduki bangku kelas 3 SMA. Pagi itu tepat saat hari minggu, seperti biasa setelah eyang utiku dimandikan, aku menyuapi eyang utiku. Namun saat itu, eyang utiku tak sekalipun mau mengunyah buburnya. Aku tak menyadari bahwa suapan ketigaku, eyang utiku udah nggak ada (meninggal). Aku menepuk pipi eyang utiku, dan sekalipun eyang utiku tak mau mengunyah. Biasanya, setiap aku menyuruh agar eyangku mau menelan buburnya, selalu eyangku mengedipkan mata dan mengangguk. Namun, saat itu tepukan tanganku di pipi eyangku, tak membuat mata eyangku berkedip. Aku bingung, ada apa?!! Akhirnya aku mengambil lagi makanan yang ada di dalam mulut eyang utiku. Aku mengoyak-ngoyak badan eyang utiku. Tapi tatapan eyang utiku udah kosong dan hanya pada 1 arah. Saat itu, aku bener-bener bingung. Aku memanggil-manggil tante dan eyang kakungku. Aku menempelkan pipiku di atas perut eyang utiku, namun tak ada tanda perut eyangku kembang kempis. Telunjukku aku tempelkan di hidung eyang utiku, namun tak ada angin yang berhembus dekalipun dari dalam hidungnya. Saat itu, dadaku benar-benar sesak, ingin menangis tapi air mata nggak bisa keluar. Tanteku panik dan memanggil dokter yang memang menangani eyang utiku dari awal. 
Semua anggota keluargaku sudah berkumpul di dekat eyang utiku. Aku masih memeluk eyang utiku. Aku marah saat itu aku marah. Karna dokter mengatakan eyangku udah meninggal. Aku tak percaya, aku menangis sejadi-jadinya di pelukan eyang utiku. aku menghela tarikan ibuku yang menyuruhku untuk bangkit dari badan eyang utiku. Saat itu, aku benar-benar merasa kehilangan. Ingin rasanya aku teriak, aku ingin eyang utiku kembali. Tapi, itu nggak akan mungkin. Walaupu hari udah lewat 40 hari sejak sepeninggalnya eyang utiku, aku tetap aja ngrasa sakit di hati. Aku kesepian walau banyak sanak keluarga di sekelilingku saat itu. Setiap kali aku memandang tempat tidur eyang utiku, aku merasa eyang utiku masih saja berbaring disitu. Selalu saja aku g tahan kalo inget akan semuanya. Air mata selalu aja g bisa aku tahan. Ibuku merasa khawatir jika aku tetap dirumah eyangku, ditakutkan aku nggak bisa fokus ke pelajaran. Mengingat aku udah kelas 3 SMA dan harus giat belajar untuk UNAS nantinya. Dan akupun disuruh untuk tinggal di rumah orang tuaku saja yang sudah dibeli sejak aku kelas 5 SD, Namun saat orang tuaku baru membeli dan menyuruhu untuk pindah ke rumah itu, aku justru lebih memilih untuk tinggal bersama eyang kakung dan utiku. Karna percuma, rumah itu hanya dihuni oleh emak-orang yang udah ikut orang tuaku semenjak ayahku masih bujangan.  
Saat ini, usiaku telah beranjak dewasa dan mungkin udah bukan remaja lagi. Dengan umur kepala 2, aku sadar betapa berharganya nasehat-nasehat eyang utiku.

Aku Kangeeen EYANG...

walaupun do’a yang ku kirim untuk beliau di setiap panjatan do’aKu, Rasanya tak dapat menebus semua kesalahan-kesalahan yang ku perbuat dulu, yang mana aku bandel dan suka bukin eyang utiku marah.
Sekarang, Aku hanya bisa melakukan semua perintah dan nasehat-nasehat yang pernah beliau berikan padaku dengan baik. Dengan itulah, aku akan merasa eyang utiku selalu bersamaku dan dekat denganku. Walau kadang aku merasa ingin menangis setiap saat mengingat eyang utiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar